Jika
harapan yang terkabul berwujud sebuah
istana, maka keyakinan adalah tangga-tangga kokoh yang mengantar kita ke
dalamnya. Semakin kokoh tangga-tangga tersebut, semakin nyaman kaki kita
meminjaknya tanpa rasa takut. Keyakinan membentuk sebuah kekuatan. Kekuatan
besar ibarat dermaga kokoh tempat kita menambatkan kapal, atau jangkar besi
yang menghujam ke dalam perut lautan dan tak tergoyahkan dengan terjangan
gelombang. Membuat kita bertahan, tetap pada satu titik yang kita inginkan.
Tak
hanya itu, kekuatan juga bisa menjelma bak pohon rindang yang menciptakan
bayang-bayang teduh bagi musafir di tengah teriknya perjalanan. Dan kekuatan
emosi sesunguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman dalam diri
manusia, tempat ditumpahkanya segala harapan dan keyakinan, tanpa aturan, tanpa
paksaan. Tempat kita mengeluarkan segala kekuatan dengan sepenuhnya. Saat kita
merasa bukan siapa-siapa, keberanian membuat kita menjadi jiwa-jiwa yang
tangguh. Sesuatu yang indah akan muncul saat keyakinan dan harapan yang kuat
bersatu dalam jiwa seseorang. Dan sesuatu itu bernama keajaiban.
Sesuatu
bernama keajaiban itulah yang hadir berkat keyakinan seorang anak dan ayahnya
yang terekam dalam sebuah peristiwa gemba besar di Armenia. Semua terjadi pada
bulan Desember tahun 1988 sat DUA gempa menghantam Armenia. Dua getaran yang
hanya berjarak beberapa menit ini magnitudonya sebesar 6,9 dan 5,8 skala
Richter. Getaran bahkan terasa hingga Georgia, Turki dan Iran. Gempa pertama
yang berkekuatan 6,9 skala Richter terjadi pada pukul 11.38 siang, berlokasi
sekitar 3 mil dari kota Spitak. Episentrumnya tidak terlalu jauh di bahwa
permukaan tanah. Empat menit kemudian getaran
sebesar 5,8 skala Richter kembali mengguncang. Spitak mengalami
kerusakan sangat parah akibat gempa tersebut. Kebanyakan bangunan di kota itu
terbuat dari bahan muratian atau beratap kayu dan bata. Hampir keseluruhannya
roboh akibat gempa. Bencana ini menewaskan ± 25.000 jiwa, puluhan ribu
luka-luka dan mengakibatkan 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Di
tengah kekacauan dan reruntuhan, seorang ayah muda, setelah menempatkan
istrinya yang terluka di tempat yang aman, dengan tergesa-gesa ke sekolah
anaknya. Perasaanya kalut bercampur takut. Segalanya berkecamuk, ratusan kemungkinan
bisa terjadi pada anaknya yang masih kecil. Sesampainya di sekolah, yang ia
lihat bukanlah gedung sekolah bertingkat tiga, melainkan puing-puing yang
berserakan.
Dia
lalu berteriak dengan lantang, “Armand, anakku, di manakah engkau?” dengan
suara yang gemetar sang ayah muda terus berteriak memanggil anaknya, namun
hening, tak terdengar jawaban apa pun. Jiwanya terguncang dengan hebat di
pikirannya terus bertanya, “apakah Armand masih hidup atau sudah mati?” Tapi
kemudian ia teringat akan janji yang pernah ia ucapkan kepada anaknya : “Tidak
peduli apa pun, aku akan selalu ada untukmu Nak,” seketika wajahnya memerah,
jiwanya bergetar, dengan satu tarikan napas dia mulai berkonsentrasi pada letak
dan berusaha mengingat saat di mana ia berjalan ke kelas anaknya di sekolah
tiap pagi. Ayah muda ini berhasil mengingat kelas anaknya yang berada di sudut
kanan bagian belakang bangunan. Semangatnya bangkit ia hanya ingin menemukan
anaknya. “Pasti bisa kutemukan, anakku masih hidup.” Dia bergegas kesana dan mulai
menggali tiap keping reruntuhan dengan kedua tangannya. Jantungnya berdegup
kencang, napasnya memburu, tapi ia masih berharap. Ia masih punya harapan.
Kapten
pemadam kebakaran yang melihat aksi ayah muda tersebut mencoba menghentinkannya
dan berkata, “Tempat ini terlalu berbahaya, setiap saat dapat meledak dan
terbakar, cepat tinggalkan tempat ini.
Pada
saat yang sama polisi juga datang memberikan peringatan dan menasihatinya,
“Saya tahu bapak sangat sedih, tetapi keadaan tidak kondusif selain dapat melukai
diri sendiri juga bisa mencelakakan orang lain, pulanglah!!” Orang-orang yang
mendengar nasihat polisi tersebut kepada ayah muda hanya dapat
mengeleng-gelengkan kepala, menghela napas, menangis sedih, lalu pergi.
Sulit
rasanya memang, mempertahankan keyakinan di saat tak ada satu pun pegangan yang
ia rasa mampu membenarkan keyakinannya. Satu-satunya suara yang ia dengar di
sekitar situ hanyalah suara orang-orang yang menyuruhnya berhenti. Suara-suara
yang menyiratkan tatapan “Tidak Mungkin”. Untuk setiap orang yang berempati
kepadanya, ayah muda ini menanggapi dengan satu baris: ”Apakah anda bersedia
membantu saya sekarang?” dengan suara gemetar menahan tangis ia berbicara. Dan
sejurus kemudian dia mulai menggali lagi untuk anaknya, batu demi batu. Dalam
hati ayah muda ini hanya bergema satu keyakinan, “Tanpa memedulikan apap pun,
dia mengambil sekop dan menggali terus menerus, namun sama sekali belum
menemukan tanda-tanda kehidupan. Wajahnya sudah penuh peluh, piluh debu pun
melekat, matanya memerah, tangan dan badannya terluka. Pakaiannya pun mulai
kotor dan berantakan.
Tempat
kejadian mulai sepi, dan kini tak seorang pun mencoba menghalanginnya lagi
untuk terus menggali menemukan buah hatinya yang tercinta. 8 jam… 12 jam… 24
jam… 36 jam… berlalu, dan dia, masih terus mengangkat puing-puing reruntuhan.
Tanpa hasil. Semua masih hening, ia tak mendengar suara anaknya. Ia masih tak
tahu di mana anaknya berada. Ia mulai teringat kembali kata-kata orang yang
sebelumnya memintanya menyerah:
“Sudah
terlambat!”
“Mereka
sudah mati!”
“Anda
tidak bisa membantu!”
“Pulanglah!”
“Hadapi
saja kenyataan, tidak ada yang dapat anda lakukan!””Kau hanya akan membuat
hal-hal buruk!”
“Menyerahlah,
ini hanya sia-sia!”
Kata-kata
itu terus berputar merongrongi jiwa dan pikirannya, mencoba membunuh keyakinan
yang sedari awal ia pertahankan. Haruskah ia kembali tanpa anaknya? Haruskah ia
menyerah pada keadaan dan mencoba menulikan suara hatinya sendiri untuk mencari
anaknya? Ia hanya ingin bertahan. Bertahan dengan harapan yang memberinya
kekuatan untuk terus mencari.
Dan
tuhan menjawab kegundahan hatinya. Tepat pada jam ke tiga puluh delapan,
tiba-tiba dia mendengar sebuah suara dari dalam tanah, “Papa, apakah itu kamu?”
mendengar suara itu tiba-tiba Ayah muda ini mendapat tenaga dua kali lipat, dan
menggali lebih cepat seraya menjawab dengan suara bergetar penuh kegembiraan, “
Benar, ini Papa, Armand anakku! Apakah kau baik-baik saja?”
“Saya
sudah mengatakan kepada teman-teman menyuruh mereka tidak usah takut, selama
papa masih hidup papa pasti akan datang menyelamatkanku, dan pasti akan
menyelamatkan kita semua, karena papa pernah berkata, “Tidak peduli apa pun
yang terjadi, papa akan selalu bersamaku!”
“Bagaimana
keadaanmu sekarang nak, masih ada berapa orang yang masih hidup?”
“Kami
disini ada 14 orang yang masih hidup, kami berada di sudut kelas, ketika gedung
runtuh, kami berada di sebuah sudut yang bercelah segitiga, sehingga kami tidak
tertimpa atap gedung.”
Sang
ayah muda ini kemudian berteriak meminta bantuan ke sekitarnya, “Di sini masih
ada 14 orang siswa yang masih hidup, cepat bantu tolong mereka!” Orang-orang
yang lewat dan mendengar teriakannya segera datang menolong. Setelah 50 menit
mereka menggali, akhirnya mereka berhasil membuat sebuah lubang kecil yang aman
sebagai tempat keluar. Dengan suara gemetar, ayah muda ini berkata “Armand!
Anakku keluarlah.”
“Tidak
Papa, biarlah siswa yang lain yang keluar terlebih dahulu, saya tahu papa pasti
akan bersama saya.”
Sepasang
ayah dan anak yang hebat, setelah menderita bencana yang besar ini mereka
berdua berpelukan dengan erat, walaupun wajah ayah muda itu terbasuh oleh air
mata dan raut kelelahan, wajah ayah muda ini terlihat bahagia.
Jika
bukan berkat ketekunan ayah muda ini menggali tanpa henti selama 38 jam, dan
keyakinan anaknya yang tidak meragukan bahwa ayahnya pasti akan datang, mungkin
ke-14 siswa ini tidak akan bisa keluar-keluar hidup-hidup dari reruntuhan.
Itulah
harapan, selama masih bersemayam kokoh dalam hati kita, selama itulah semangat
di dalam jiwa akan terus menyala menjadi penerang di tengah kegelapan.
“HARAPAN!!!!!
Jangan kehilangan HARAPAN. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena
harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon
meski kita tidak tahu apakah kita akan sempat memetik buahnya yang ranum
bertahun-tahun kemudian. Dengan harapan, setiap pahlawan dapat menembus batasan
dalam hidupnya. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh
kekuatanmu untuk menghadapi dunia. Setiap jiwa hidup memiliki harapan dan jiwa
tanpa harapan maka ia tak pernah hidup
SUMBER
: HOPE (Dream, Desire, Destiny)
Andi Arsyil Rahman
Putra