Minggu, 14 Juni 2015

KEYAKINAN AKAN SEBUAH HARAPAN


Jika harapan yang terkabul berwujud  sebuah istana, maka keyakinan adalah tangga-tangga kokoh yang mengantar kita ke dalamnya. Semakin kokoh tangga-tangga tersebut, semakin nyaman kaki kita meminjaknya tanpa rasa takut. Keyakinan membentuk sebuah kekuatan. Kekuatan besar ibarat dermaga kokoh tempat kita menambatkan kapal, atau jangkar besi yang menghujam ke dalam perut lautan dan tak tergoyahkan dengan terjangan gelombang. Membuat kita bertahan, tetap pada satu titik yang kita inginkan.

Tak hanya itu, kekuatan juga bisa menjelma bak pohon rindang yang menciptakan bayang-bayang teduh bagi musafir di tengah teriknya perjalanan. Dan kekuatan emosi sesunguhnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman dalam diri manusia, tempat ditumpahkanya segala harapan dan keyakinan, tanpa aturan, tanpa paksaan. Tempat kita mengeluarkan segala kekuatan dengan sepenuhnya. Saat kita merasa bukan siapa-siapa, keberanian membuat kita menjadi jiwa-jiwa yang tangguh. Sesuatu yang indah akan muncul saat keyakinan dan harapan yang kuat bersatu dalam jiwa seseorang. Dan sesuatu itu bernama keajaiban.

Sesuatu bernama keajaiban itulah yang hadir berkat keyakinan seorang anak dan ayahnya yang terekam dalam sebuah peristiwa gemba besar di Armenia. Semua terjadi pada bulan Desember tahun 1988 sat DUA gempa menghantam Armenia. Dua getaran yang hanya berjarak beberapa menit ini magnitudonya sebesar 6,9 dan 5,8 skala Richter. Getaran bahkan terasa hingga Georgia, Turki dan Iran. Gempa pertama yang berkekuatan 6,9 skala Richter terjadi pada pukul 11.38 siang, berlokasi sekitar 3 mil dari kota Spitak. Episentrumnya tidak terlalu jauh di bahwa permukaan tanah. Empat menit kemudian getaran  sebesar 5,8 skala Richter kembali mengguncang. Spitak mengalami kerusakan sangat parah akibat gempa tersebut. Kebanyakan bangunan di kota itu terbuat dari bahan muratian atau beratap kayu dan bata. Hampir keseluruhannya roboh akibat gempa. Bencana ini menewaskan ± 25.000 jiwa, puluhan ribu luka-luka dan mengakibatkan 500.000 orang kehilangan tempat tinggal.

Di tengah kekacauan dan reruntuhan, seorang ayah muda, setelah menempatkan istrinya yang terluka di tempat yang aman, dengan tergesa-gesa ke sekolah anaknya. Perasaanya kalut bercampur takut. Segalanya berkecamuk, ratusan kemungkinan bisa terjadi pada anaknya yang masih kecil. Sesampainya di sekolah, yang ia lihat bukanlah gedung sekolah bertingkat tiga, melainkan puing-puing yang berserakan.

Dia lalu berteriak dengan lantang, “Armand, anakku, di manakah engkau?” dengan suara yang gemetar sang ayah muda terus berteriak memanggil anaknya, namun hening, tak terdengar jawaban apa pun. Jiwanya terguncang dengan hebat di pikirannya terus bertanya, “apakah Armand masih hidup atau sudah mati?” Tapi kemudian ia teringat akan janji yang pernah ia ucapkan kepada anaknya : “Tidak peduli apa pun, aku akan selalu ada untukmu Nak,” seketika wajahnya memerah, jiwanya bergetar, dengan satu tarikan napas dia mulai berkonsentrasi pada letak dan berusaha mengingat saat di mana ia berjalan ke kelas anaknya di sekolah tiap pagi. Ayah muda ini berhasil mengingat kelas anaknya yang berada di sudut kanan bagian belakang bangunan. Semangatnya bangkit ia hanya ingin menemukan anaknya. “Pasti bisa kutemukan, anakku masih hidup.” Dia bergegas kesana dan mulai menggali tiap keping reruntuhan dengan kedua tangannya. Jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu, tapi ia masih berharap. Ia masih punya harapan.

Kapten pemadam kebakaran yang melihat aksi ayah muda tersebut mencoba menghentinkannya dan berkata, “Tempat ini terlalu berbahaya, setiap saat dapat meledak dan terbakar, cepat tinggalkan tempat ini.

Pada saat yang sama polisi juga datang memberikan peringatan dan menasihatinya, “Saya tahu bapak sangat sedih, tetapi keadaan tidak kondusif selain dapat melukai diri sendiri juga bisa mencelakakan orang lain, pulanglah!!” Orang-orang yang mendengar nasihat polisi tersebut kepada ayah muda hanya dapat mengeleng-gelengkan kepala, menghela napas, menangis sedih, lalu pergi.

Sulit rasanya memang, mempertahankan keyakinan di saat tak ada satu pun pegangan yang ia rasa mampu membenarkan keyakinannya. Satu-satunya suara yang ia dengar di sekitar situ hanyalah suara orang-orang yang menyuruhnya berhenti. Suara-suara yang menyiratkan tatapan “Tidak Mungkin”. Untuk setiap orang yang berempati kepadanya, ayah muda ini menanggapi dengan satu baris: ”Apakah anda bersedia membantu saya sekarang?” dengan suara gemetar menahan tangis ia berbicara. Dan sejurus kemudian dia mulai menggali lagi untuk anaknya, batu demi batu. Dalam hati ayah muda ini hanya bergema satu keyakinan, “Tanpa memedulikan apap pun, dia mengambil sekop dan menggali terus menerus, namun sama sekali belum menemukan tanda-tanda kehidupan. Wajahnya sudah penuh peluh, piluh debu pun melekat, matanya memerah, tangan dan badannya terluka. Pakaiannya pun mulai kotor dan berantakan.

Tempat kejadian mulai sepi, dan kini tak seorang pun mencoba menghalanginnya lagi untuk terus menggali menemukan buah hatinya yang tercinta. 8 jam… 12 jam… 24 jam… 36 jam… berlalu, dan dia, masih terus mengangkat puing-puing reruntuhan. Tanpa hasil. Semua masih hening, ia tak mendengar suara anaknya. Ia masih tak tahu di mana anaknya berada. Ia mulai teringat kembali kata-kata orang yang sebelumnya memintanya menyerah:

“Sudah terlambat!”

“Mereka sudah mati!”

“Anda tidak bisa membantu!”

“Pulanglah!”

“Hadapi saja kenyataan, tidak ada yang dapat anda lakukan!””Kau hanya akan membuat hal-hal buruk!”

“Menyerahlah, ini hanya sia-sia!”

Kata-kata itu terus berputar merongrongi jiwa dan pikirannya, mencoba membunuh keyakinan yang sedari awal ia pertahankan. Haruskah ia kembali tanpa anaknya? Haruskah ia menyerah pada keadaan dan mencoba menulikan suara hatinya sendiri untuk mencari anaknya? Ia hanya ingin bertahan. Bertahan dengan harapan yang memberinya kekuatan untuk terus mencari.

Dan tuhan menjawab kegundahan hatinya. Tepat pada jam ke tiga puluh delapan, tiba-tiba dia mendengar sebuah suara dari dalam tanah, “Papa, apakah itu kamu?” mendengar suara itu tiba-tiba Ayah muda ini mendapat tenaga dua kali lipat, dan menggali lebih cepat seraya menjawab dengan suara bergetar penuh kegembiraan, “ Benar, ini Papa, Armand anakku! Apakah kau baik-baik saja?”

“Saya sudah mengatakan kepada teman-teman menyuruh mereka tidak usah takut, selama papa masih hidup papa pasti akan datang menyelamatkanku, dan pasti akan menyelamatkan kita semua, karena papa pernah berkata, “Tidak peduli apa pun yang terjadi, papa akan selalu bersamaku!”

“Bagaimana keadaanmu sekarang nak, masih ada berapa orang yang masih hidup?”

“Kami disini ada 14 orang yang masih hidup, kami berada di sudut kelas, ketika gedung runtuh, kami berada di sebuah sudut yang bercelah segitiga, sehingga kami tidak tertimpa atap gedung.”

Sang ayah muda ini kemudian berteriak meminta bantuan ke sekitarnya, “Di sini masih ada 14 orang siswa yang masih hidup, cepat bantu tolong mereka!” Orang-orang yang lewat dan mendengar teriakannya segera datang menolong. Setelah 50 menit mereka menggali, akhirnya mereka berhasil membuat sebuah lubang kecil yang aman sebagai tempat keluar. Dengan suara gemetar, ayah muda ini berkata “Armand! Anakku keluarlah.”

“Tidak Papa, biarlah siswa yang lain yang keluar terlebih dahulu, saya tahu papa pasti akan bersama saya.”

Sepasang ayah dan anak yang hebat, setelah menderita bencana yang besar ini mereka berdua berpelukan dengan erat, walaupun wajah ayah muda itu terbasuh oleh air mata dan raut kelelahan, wajah ayah muda ini terlihat bahagia.

Jika bukan berkat ketekunan ayah muda ini menggali tanpa henti selama 38 jam, dan keyakinan anaknya yang tidak meragukan bahwa ayahnya pasti akan datang, mungkin ke-14 siswa ini tidak akan bisa keluar-keluar hidup-hidup dari reruntuhan.

Itulah harapan, selama masih bersemayam kokoh dalam hati kita, selama itulah semangat di dalam jiwa akan terus menyala menjadi penerang di tengah kegelapan.

“HARAPAN!!!!! Jangan kehilangan HARAPAN. Bukankah seorang guru dunia pernah berujar, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tidak tahu apakah kita akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Dengan harapan, setiap pahlawan dapat menembus batasan dalam hidupnya. Sekali kau kehilangan harapan, kau kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia. Setiap jiwa hidup memiliki harapan dan jiwa tanpa harapan maka ia tak pernah hidup

 

SUMBER : HOPE (Dream, Desire, Destiny)
Andi Arsyil Rahman Putra 

Selasa, 09 Juni 2015

SAYA TIDAK MAU ALLAH BUANG SAYA JUGA



Hujan lagi, gerutuku kesal. Bisa magrib di jalan lagi ini mah. Kulirik jam tanganku, sudah hampir pukul lima. Biasanya jam segini aku sudah di jalan. Perjalanan dari kantor menuju rumah dengan motor sekitar satu setengah jam lebih. Kalau aku pulang tepat setelah jam kantor selesai, setengah lima, aku bisa shalat Magrib di rumah. Tapi lagi-lagi sore ini hujan, selalu hujan seperti hari-hari sebelumnya dalam beberapa hari terakhir ini. Dan kalau pulang sudah jam lima begini aku pasti harus Magrib di jalan.

          Jam lima lewat sepuluh menit. Hujan mulai reda, aku bergegas keluar kantor, memanaskan motorku sebentar lalu segera meluncur pulang ke rumah. Hujan begini pasti macet lagi. Pikirku. Penat seharian kerja selalu membuatku ingin cepat sampai di rumah. Bertemu istri dan anak-anakku, bermain sebentar dengan mereka dan segera istirahat. Rute perjalananku setiap harinya adalah Cibubur-Tanah Abang-Cibubur, lewat jalan Raya Bogor lalu terus lewat Condet. Keluar-keluar ada di jalan Pramuka lalu terus ke Tanah Abang. Bila terpaksa Magrib di jalan aku selalu menyempatkan diri shalat di sebuah masjid di daerah Condet. Yang membuatku nyaman shalat di sana adalah, meski tidak begitu besar, tapi masjid ini bersih sekali, sangat terawat. Yah masalah di negaraku ini salah satunya adalah kebersihan. Bahkan kebersihan tempat ibadah.

          Hujan masih gerimis ketika aku memulai perjalanan. Tepat ketika sayup azan Magrib terdengar dan langit mulai gelap, aku hampir sampai di Condet. Beberapa masjid yang sangat kukenal. Tidak hanya masjinya sebenarnya, namun penjaga masjid itu. Penjaga masjid yang selalu menolak ketika kuberi uang, yang selalu menjawab, ‘buat kotak amal saja pak’  sembari tersenyum. Aku merasa sangat simpati padanya, di usianya yang kira-kira sudah menginjak enam puluh ia masih terlihat gesit membersihkan masjid. Lihat masjid. Lihat saja hasilnya, masjid ini begitu terawat dan sangat bersih.

          Aku membuka sepatu dan jas hujanku setelah selesai memarkir motor. Dari kejauhan aku melihat bapak tua itu, sang penjaga masjid, menghampiriku sembari menyapa, ‘kemalaman lagi mas’ katanya. Tatapan matanya begitu tenang dengan air wudhu membasahai wajahnya.

          “Iya nih Pak, tadi hujan jadi gak bisa pulang. “Iya tidak apa-apa biar pulang lambat, asal tidak kehujanan, mari nak shalat dulu, tuh sudah banyak jemaahnya.”

          Aku segera mengambil wudhu lalu shalat di sebelahnya. Usai shalat aku hendak melanjutkan perjalanan pulang. Tapi hujan menahanku. Tiba-tiba ia turun deras sekali. Aku terpaksaa berteduh dulu di masjid. Terlihat beberapa jemaah juga urung kembali ke rumah. Bapak tua itu menghampiriku, mengajakku bersalaman lalu kemudian duduk di sebelahku. Ini sudah ketiga kalinya aku mengobrol dengan beliau setiap shalat di sini.

          Pulang ke mana mas?”

“Cibubur, Pak,” sahutku datar. Percakapan itu pun berlanjut. Entah mengapa tiba-tiba saja aku berpikir untuk bertanya tentang kehidupannya.

          “Bapak tinggal di daerah sini? Anak istri di mana, Pak?” tanyaku. Dengan senyuman yang khas Bapak itu tersenyum.

          “Bapak mah gak pumya tempat tinggal mas. Bapak bolak balik panti jompo ke sini. Bapak dulu di tinggal sama istri Bapak, anak-anak semua di bawa dia. Bapak gak pernah ketemu lagi.” Spontan wajahku menunjukkan keterkejutan. Mungkin ia melihatnya hingga meneruskan pembicaraan.

          “Iya, dulu Bapak masih punya kerja, tapi lalu dipecat waktu ada PHK besar-besaran di pabrik. Abis itu istri Bapak pergi begitu saja. Bapak udah gak sanggup lagi bayar kontrakan. Jadi bapak pergi aja menggelandang. Sampe bapak ke daerah ini, ketemu panti jompo. Untung orang yang ngurus baik,  bapak boleh tinggal disitu. Kalau siang bapak bantu-bantu orang jompo juga disana. Kasian, mereka dibuang sama anak-anaknya, kebanyakan gak mau urus lagi. Banyak juga yang seperti bapak, hidup gak punya siapa-siapa.”

          Hatiku sedih sekali mendengarnya. “Tapi bapak dikasih uang gak sama pengurus masjid, yah sekadar uang untuk memenuhi kebutuhan bapak hari-hari saja gitu.”

          Lelaki tua itu menggeleng. Keriput di wajahnya seolah menyimpan banyak kisah yang terjadi dalam hidupnya. Matanya menyiratkan luka, tapi kemudian senyuman di wajahnya menyembunyikan semua.

          “Bapak mah jaga masjid di sini kepingin aja. Kalau pagi sampai siang bapak di panti jompo bantu-bantu orang di sana, kalau siang sampai malam bapak di sini, bersih-bersih masjid. Bapak bilang sendiri minta izin boleh bersih-bersih gitu disini. Solanya dulu Bapak liat masjid ini kok gak ada yang urusin, ngebersihin. Jadi bapak pengen rawat aja. Gak ngarep uang mas. Ibadah aja. Bapak gak punya apa-apa. Bapak dibuang begitu saja sama anak istri bapak. Sekarang sisa hidup bapak pengen bapak gunain buat hal-hal yang bisa bapak lakuin dengan niat ibadah. Bapak gak mau Allah ngebuang bapak juga. Bapak selalu berharap Allah sayang sama bapak. Di dunia kan bapak tidak punya rumah nak, bapak berharap bisa punya rumah di surag, mudah-mudahan masjid ini jadi rumah bapak di sana.”

          Kata-kata terakhirnya menamparku keras. Betapa aku selama ini begitu kerdil dibandingkan laki-laki tua ini. Sikapnya yang pengasih, mau mengabdikan diri untuk beribadah, menolong orang lain, dan bermanfaat bagi orang lain dengan caranya sendiri, dengan satu alasan, ia tak mau Allah ‘membuangnya’. Sedangkan aku, bekerja masih saja sering mengeluh. Padahala mencari nafkah pun ibadah.  

          Hujan mulai reda, aku bergegas kembali di rumah. Dalam hati kubisikan, mulai saat ini, akan kugenggam napasku dalam rasa syukur, dan kujadikan hidupku indah atas segala keputusan-NYA.


Sumber : HOPE (Dream Desire, Destiny)
Andi Arysil Rahman Putra

20 SEN? HARGA SEBUAH KEIMANAN


Diangkat dari sebuah tabloid islam di London, Inggris...Seorang imam masjid di London setiap hari pergi pulang dari rumahnya ke masjid dengan menggunakan kendaraan umum. Seperti di kebanyakan negara maju, ongkos kendaraan tersebut dibayar dengan menggunakan kartu atau langsung membayar kepada sopir karena tak ada kondektur yang bertugas dalam bus tersebut. Setelah membayar para penumpang baru diperkenankan mencari tempat duduk yang kosong.

          Sang imam yang kebetulan hari itu tidak membawa uang pas untuk ongkos, membayarkan sejumlah uang kepada sopir bus, lalu menerima uang kembalian. Tanpa langsung menghitungnya sang imam segera menuju bangku bagian belakang yang terlihat kosong.

          Di tempat duduknya, ia menghitung jumlah uang kembalian yang diberikan sang sopir bus kepadanya, dan ternyata, uang tersebut lebih dua puluh sen. Sejenak ia pun berpikir, “Uang ini dikembalikan atau tidak ya? Ah Cuma dua puluh sen ini, ah dia (si sopir) juga kafir ini, atau aku masukkan saja ke kotak amal masjid” Pikirannya berkecamuk memikirkan koin dua puluh sen yang ia terima sebagai kembalian berlebih.

          Ketika sampai tempat tujuan, awalnya ia hendak turun dan berjalan begitu saja melewati si sopir tanpa bermaksud mengembalikan uang dua puluh sen tersebut. Namun yang terjadi, ketika samapai di dekat sopir, sang imam dengan spontan mengulurkan dua puluh sen tersebut sembari berkata, “Uang kembalian yang Anda kembalikan lebih.” Tanpa disangka, bukan ucapan terima kasih yang keluar dari mulut sopir tersebut  melainkan acungan jempol seraya berkata “Anda berhasil!”, katanya antusias.

          Dengan wajah kebingungan sang imam bertanya, “Apa maksud Anda?”

          Bukankah Anda imam masjid yang disana tadi?” tanya si supir

          “betul” jawabnya, ia bertambah bingung.

          Lalu kemudian dengan tatapan penuh keyakinan sang sopir pun bercerita, “sebenarnya dalam waktu beberapa hari ini saya ingin datang ke masjid Anda untuk belajar dan memeluk Islam, tapi timbul di hati saya untuk menguji Anda sebagai imam masjid, Apa benar Islam itu seperti yang saya dengar, jujur, amanah, dan sebagainya. Saya sengaja memberikan kembalian berlebih kepada Anda hanya untuk mengetahui apakah Anda akan mengembalikannya atau tidak, dan Anda berhasil. Saya akan masuk Islam,” kata sopir tersebut degan penuh kesungguhan.

          Tercenganglah sang imam akan apa yang baru saja didengarnya. Sambil berigstigfar menyesali apa yang dipikirkanya tadi, sang imam benar-benar “syok”. Betapa ia hampir saja melakukan hal terbodoh, ‘menukar’ uang dua puluh sen dengan keimanan seseorang. Uang dua puluh sen yang baru saja ia terima dengan tangannya itu ternyata seharga kemantapan sang sopir memercayai kejujuran dalam Islam, dan karena hanya uang dua puluh sen yang hampir tertahan di kedua tangannya, hampir saja membunuh keyakinan orang lain. Seolah masih tak percaya, sambil berjalan meninggalkan bus, sang imam terus berpikir bagaimana mungkin ia menilai orang lain dengan suatu keburukan sedangkan ia sendiri sedang berencana melakukan keburukan untuk orang lain.

          Uang 20 sen… Uang itu kecil, sedikit, hanya koin sen-an berjumlah dua puluh, namun hampir saja membuatnya menyesal seumur hidup.

          Sang Imam terus beristigfar (memohon ampun) dan bersyukur karena Allah masih menjaganya dari perbuatan dosa…

          Terlalu seringnya kita menilai orang lain dan lupa menilai diri sendiri, kita sering sekali sibuk dengan dosa-dosa orang lain tapi lupa akan dosa-dosa kita sendiri. Hidup kita hampir selalu di isi dengan menilai-nilai orang lain tapi lupa menilai diri sendiri. Andai kata kita diperlihatkan segala keburukan kita, maka tidak ada satu pun rasa ingin menyombongkan diri karena merasa lebih dari orang lain, andai kata kita tahu bahwa semua adalah titipan : harta, jabatan, popularitas, kebaikan, ilmu dan kehidupan ini maka tidak ada satu pun yang bisa kita bangga-banggakan. Karena semua hanya titipan dan akan dikembali kepada Sang Pemilik-NYA.

          Kawan-kawan, betapa seharusnya kita senantiasa memelihara menjadi apa yang menjadi kebaikan dalam diri kita setiap saat. Menjaga murninya kejujuran dalam keadaan apa pun. Betapa kejujuran selalu menjadikan segala sesuatunya aman, tenteram, dan berjalan dengan baik menuju kesempurnaan. Betapa seharusnya kita selalu berusaha menjadi seorang hamba yang sejati, yang senantiasa memilih berbuat baik sekecil apa pun, di mana pun, kapan pun keadaan apa pun, dan kepada siapa pun. Dan itu merupakan Rahmat Bagi Setiap Manusia…
 
 
 
 
Sumber : Buku HOPE (Dream, Desire, Destiny)
Andi Arsyil Rahman Putra