Selasa, 09 Juni 2015

SAYA TIDAK MAU ALLAH BUANG SAYA JUGA



Hujan lagi, gerutuku kesal. Bisa magrib di jalan lagi ini mah. Kulirik jam tanganku, sudah hampir pukul lima. Biasanya jam segini aku sudah di jalan. Perjalanan dari kantor menuju rumah dengan motor sekitar satu setengah jam lebih. Kalau aku pulang tepat setelah jam kantor selesai, setengah lima, aku bisa shalat Magrib di rumah. Tapi lagi-lagi sore ini hujan, selalu hujan seperti hari-hari sebelumnya dalam beberapa hari terakhir ini. Dan kalau pulang sudah jam lima begini aku pasti harus Magrib di jalan.

          Jam lima lewat sepuluh menit. Hujan mulai reda, aku bergegas keluar kantor, memanaskan motorku sebentar lalu segera meluncur pulang ke rumah. Hujan begini pasti macet lagi. Pikirku. Penat seharian kerja selalu membuatku ingin cepat sampai di rumah. Bertemu istri dan anak-anakku, bermain sebentar dengan mereka dan segera istirahat. Rute perjalananku setiap harinya adalah Cibubur-Tanah Abang-Cibubur, lewat jalan Raya Bogor lalu terus lewat Condet. Keluar-keluar ada di jalan Pramuka lalu terus ke Tanah Abang. Bila terpaksa Magrib di jalan aku selalu menyempatkan diri shalat di sebuah masjid di daerah Condet. Yang membuatku nyaman shalat di sana adalah, meski tidak begitu besar, tapi masjid ini bersih sekali, sangat terawat. Yah masalah di negaraku ini salah satunya adalah kebersihan. Bahkan kebersihan tempat ibadah.

          Hujan masih gerimis ketika aku memulai perjalanan. Tepat ketika sayup azan Magrib terdengar dan langit mulai gelap, aku hampir sampai di Condet. Beberapa masjid yang sangat kukenal. Tidak hanya masjinya sebenarnya, namun penjaga masjid itu. Penjaga masjid yang selalu menolak ketika kuberi uang, yang selalu menjawab, ‘buat kotak amal saja pak’  sembari tersenyum. Aku merasa sangat simpati padanya, di usianya yang kira-kira sudah menginjak enam puluh ia masih terlihat gesit membersihkan masjid. Lihat masjid. Lihat saja hasilnya, masjid ini begitu terawat dan sangat bersih.

          Aku membuka sepatu dan jas hujanku setelah selesai memarkir motor. Dari kejauhan aku melihat bapak tua itu, sang penjaga masjid, menghampiriku sembari menyapa, ‘kemalaman lagi mas’ katanya. Tatapan matanya begitu tenang dengan air wudhu membasahai wajahnya.

          “Iya nih Pak, tadi hujan jadi gak bisa pulang. “Iya tidak apa-apa biar pulang lambat, asal tidak kehujanan, mari nak shalat dulu, tuh sudah banyak jemaahnya.”

          Aku segera mengambil wudhu lalu shalat di sebelahnya. Usai shalat aku hendak melanjutkan perjalanan pulang. Tapi hujan menahanku. Tiba-tiba ia turun deras sekali. Aku terpaksaa berteduh dulu di masjid. Terlihat beberapa jemaah juga urung kembali ke rumah. Bapak tua itu menghampiriku, mengajakku bersalaman lalu kemudian duduk di sebelahku. Ini sudah ketiga kalinya aku mengobrol dengan beliau setiap shalat di sini.

          Pulang ke mana mas?”

“Cibubur, Pak,” sahutku datar. Percakapan itu pun berlanjut. Entah mengapa tiba-tiba saja aku berpikir untuk bertanya tentang kehidupannya.

          “Bapak tinggal di daerah sini? Anak istri di mana, Pak?” tanyaku. Dengan senyuman yang khas Bapak itu tersenyum.

          “Bapak mah gak pumya tempat tinggal mas. Bapak bolak balik panti jompo ke sini. Bapak dulu di tinggal sama istri Bapak, anak-anak semua di bawa dia. Bapak gak pernah ketemu lagi.” Spontan wajahku menunjukkan keterkejutan. Mungkin ia melihatnya hingga meneruskan pembicaraan.

          “Iya, dulu Bapak masih punya kerja, tapi lalu dipecat waktu ada PHK besar-besaran di pabrik. Abis itu istri Bapak pergi begitu saja. Bapak udah gak sanggup lagi bayar kontrakan. Jadi bapak pergi aja menggelandang. Sampe bapak ke daerah ini, ketemu panti jompo. Untung orang yang ngurus baik,  bapak boleh tinggal disitu. Kalau siang bapak bantu-bantu orang jompo juga disana. Kasian, mereka dibuang sama anak-anaknya, kebanyakan gak mau urus lagi. Banyak juga yang seperti bapak, hidup gak punya siapa-siapa.”

          Hatiku sedih sekali mendengarnya. “Tapi bapak dikasih uang gak sama pengurus masjid, yah sekadar uang untuk memenuhi kebutuhan bapak hari-hari saja gitu.”

          Lelaki tua itu menggeleng. Keriput di wajahnya seolah menyimpan banyak kisah yang terjadi dalam hidupnya. Matanya menyiratkan luka, tapi kemudian senyuman di wajahnya menyembunyikan semua.

          “Bapak mah jaga masjid di sini kepingin aja. Kalau pagi sampai siang bapak di panti jompo bantu-bantu orang di sana, kalau siang sampai malam bapak di sini, bersih-bersih masjid. Bapak bilang sendiri minta izin boleh bersih-bersih gitu disini. Solanya dulu Bapak liat masjid ini kok gak ada yang urusin, ngebersihin. Jadi bapak pengen rawat aja. Gak ngarep uang mas. Ibadah aja. Bapak gak punya apa-apa. Bapak dibuang begitu saja sama anak istri bapak. Sekarang sisa hidup bapak pengen bapak gunain buat hal-hal yang bisa bapak lakuin dengan niat ibadah. Bapak gak mau Allah ngebuang bapak juga. Bapak selalu berharap Allah sayang sama bapak. Di dunia kan bapak tidak punya rumah nak, bapak berharap bisa punya rumah di surag, mudah-mudahan masjid ini jadi rumah bapak di sana.”

          Kata-kata terakhirnya menamparku keras. Betapa aku selama ini begitu kerdil dibandingkan laki-laki tua ini. Sikapnya yang pengasih, mau mengabdikan diri untuk beribadah, menolong orang lain, dan bermanfaat bagi orang lain dengan caranya sendiri, dengan satu alasan, ia tak mau Allah ‘membuangnya’. Sedangkan aku, bekerja masih saja sering mengeluh. Padahala mencari nafkah pun ibadah.  

          Hujan mulai reda, aku bergegas kembali di rumah. Dalam hati kubisikan, mulai saat ini, akan kugenggam napasku dalam rasa syukur, dan kujadikan hidupku indah atas segala keputusan-NYA.


Sumber : HOPE (Dream Desire, Destiny)
Andi Arysil Rahman Putra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar