Hujan
lagi, gerutuku kesal. Bisa magrib di jalan lagi ini mah. Kulirik jam tanganku,
sudah hampir pukul lima. Biasanya jam segini aku sudah di jalan. Perjalanan
dari kantor menuju rumah dengan motor sekitar satu setengah jam lebih. Kalau
aku pulang tepat setelah jam kantor selesai, setengah lima, aku bisa shalat
Magrib di rumah. Tapi lagi-lagi sore ini hujan, selalu hujan seperti hari-hari
sebelumnya dalam beberapa hari terakhir ini. Dan kalau pulang sudah jam lima
begini aku pasti harus Magrib di jalan.
Jam lima lewat sepuluh menit. Hujan
mulai reda, aku bergegas keluar kantor, memanaskan motorku sebentar lalu segera
meluncur pulang ke rumah. Hujan begini
pasti macet lagi. Pikirku. Penat seharian kerja selalu membuatku ingin
cepat sampai di rumah. Bertemu istri dan anak-anakku, bermain sebentar dengan
mereka dan segera istirahat. Rute perjalananku setiap harinya adalah
Cibubur-Tanah Abang-Cibubur, lewat jalan Raya Bogor lalu terus lewat Condet.
Keluar-keluar ada di jalan Pramuka lalu terus ke Tanah Abang. Bila terpaksa
Magrib di jalan aku selalu menyempatkan diri shalat di sebuah masjid di daerah
Condet. Yang membuatku nyaman shalat di sana adalah, meski tidak begitu besar,
tapi masjid ini bersih sekali, sangat terawat. Yah masalah di negaraku ini
salah satunya adalah kebersihan. Bahkan kebersihan tempat ibadah.
Hujan masih gerimis ketika aku memulai
perjalanan. Tepat ketika sayup azan Magrib terdengar dan langit mulai gelap,
aku hampir sampai di Condet. Beberapa masjid yang sangat kukenal. Tidak hanya
masjinya sebenarnya, namun penjaga masjid itu. Penjaga masjid yang selalu
menolak ketika kuberi uang, yang selalu menjawab, ‘buat kotak amal saja pak’ sembari
tersenyum. Aku merasa sangat simpati padanya, di usianya yang kira-kira sudah
menginjak enam puluh ia masih terlihat gesit membersihkan masjid. Lihat masjid.
Lihat saja hasilnya, masjid ini begitu terawat dan sangat bersih.
Aku membuka sepatu dan jas hujanku
setelah selesai memarkir motor. Dari kejauhan aku melihat bapak tua itu, sang
penjaga masjid, menghampiriku sembari menyapa, ‘kemalaman lagi mas’ katanya. Tatapan matanya begitu tenang dengan
air wudhu membasahai wajahnya.
“Iya nih Pak, tadi hujan jadi gak bisa
pulang. “Iya tidak apa-apa biar pulang lambat, asal tidak kehujanan, mari nak
shalat dulu, tuh sudah banyak jemaahnya.”
Aku segera mengambil wudhu lalu shalat
di sebelahnya. Usai shalat aku hendak melanjutkan perjalanan pulang. Tapi hujan
menahanku. Tiba-tiba ia turun deras sekali. Aku terpaksaa berteduh dulu di
masjid. Terlihat beberapa jemaah juga urung kembali ke rumah. Bapak tua itu
menghampiriku, mengajakku bersalaman lalu kemudian duduk di sebelahku. Ini
sudah ketiga kalinya aku mengobrol dengan beliau setiap shalat di sini.
Pulang ke mana mas?”
“Cibubur,
Pak,” sahutku datar. Percakapan itu pun berlanjut. Entah mengapa tiba-tiba saja
aku berpikir untuk bertanya tentang kehidupannya.
“Bapak tinggal di daerah sini? Anak
istri di mana, Pak?” tanyaku. Dengan senyuman yang khas Bapak itu tersenyum.
“Bapak mah gak pumya tempat tinggal
mas. Bapak bolak balik panti jompo ke sini. Bapak dulu di tinggal sama istri
Bapak, anak-anak semua di bawa dia. Bapak gak pernah ketemu lagi.” Spontan
wajahku menunjukkan keterkejutan. Mungkin ia melihatnya hingga meneruskan
pembicaraan.
“Iya, dulu Bapak masih punya kerja,
tapi lalu dipecat waktu ada PHK besar-besaran di pabrik. Abis itu istri Bapak
pergi begitu saja. Bapak udah gak sanggup lagi bayar kontrakan. Jadi bapak
pergi aja menggelandang. Sampe bapak ke daerah ini, ketemu panti jompo. Untung
orang yang ngurus baik, bapak boleh
tinggal disitu. Kalau siang bapak bantu-bantu orang jompo juga disana. Kasian,
mereka dibuang sama anak-anaknya, kebanyakan gak mau urus lagi. Banyak juga
yang seperti bapak, hidup gak punya siapa-siapa.”
Hatiku sedih sekali mendengarnya.
“Tapi bapak dikasih uang gak sama pengurus masjid, yah sekadar uang untuk
memenuhi kebutuhan bapak hari-hari saja gitu.”
Lelaki tua itu menggeleng. Keriput di
wajahnya seolah menyimpan banyak kisah yang terjadi dalam hidupnya. Matanya
menyiratkan luka, tapi kemudian senyuman di wajahnya menyembunyikan semua.
“Bapak mah jaga masjid di sini
kepingin aja. Kalau pagi sampai siang bapak di panti jompo bantu-bantu orang di
sana, kalau siang sampai malam bapak di sini, bersih-bersih masjid. Bapak
bilang sendiri minta izin boleh bersih-bersih gitu disini. Solanya dulu Bapak
liat masjid ini kok gak ada yang urusin, ngebersihin. Jadi bapak pengen rawat
aja. Gak ngarep uang mas. Ibadah aja. Bapak gak punya apa-apa. Bapak dibuang
begitu saja sama anak istri bapak. Sekarang sisa hidup bapak pengen bapak
gunain buat hal-hal yang bisa bapak lakuin dengan niat ibadah. Bapak gak mau
Allah ngebuang bapak juga. Bapak selalu berharap Allah sayang sama bapak. Di
dunia kan bapak tidak punya rumah nak, bapak berharap bisa punya rumah di
surag, mudah-mudahan masjid ini jadi rumah bapak di sana.”
Kata-kata terakhirnya menamparku
keras. Betapa aku selama ini begitu kerdil dibandingkan laki-laki tua ini.
Sikapnya yang pengasih, mau mengabdikan diri untuk beribadah, menolong orang
lain, dan bermanfaat bagi orang lain dengan caranya sendiri, dengan satu
alasan, ia tak mau Allah ‘membuangnya’. Sedangkan
aku, bekerja masih saja sering mengeluh. Padahala mencari nafkah pun ibadah.
Hujan mulai reda, aku bergegas kembali
di rumah. Dalam hati kubisikan, mulai saat ini, akan kugenggam napasku dalam
rasa syukur, dan kujadikan hidupku indah atas segala keputusan-NYA.
Sumber : HOPE (Dream Desire, Destiny)
Andi Arysil Rahman Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar