Selasa, 09 Juni 2015

20 SEN? HARGA SEBUAH KEIMANAN


Diangkat dari sebuah tabloid islam di London, Inggris...Seorang imam masjid di London setiap hari pergi pulang dari rumahnya ke masjid dengan menggunakan kendaraan umum. Seperti di kebanyakan negara maju, ongkos kendaraan tersebut dibayar dengan menggunakan kartu atau langsung membayar kepada sopir karena tak ada kondektur yang bertugas dalam bus tersebut. Setelah membayar para penumpang baru diperkenankan mencari tempat duduk yang kosong.

          Sang imam yang kebetulan hari itu tidak membawa uang pas untuk ongkos, membayarkan sejumlah uang kepada sopir bus, lalu menerima uang kembalian. Tanpa langsung menghitungnya sang imam segera menuju bangku bagian belakang yang terlihat kosong.

          Di tempat duduknya, ia menghitung jumlah uang kembalian yang diberikan sang sopir bus kepadanya, dan ternyata, uang tersebut lebih dua puluh sen. Sejenak ia pun berpikir, “Uang ini dikembalikan atau tidak ya? Ah Cuma dua puluh sen ini, ah dia (si sopir) juga kafir ini, atau aku masukkan saja ke kotak amal masjid” Pikirannya berkecamuk memikirkan koin dua puluh sen yang ia terima sebagai kembalian berlebih.

          Ketika sampai tempat tujuan, awalnya ia hendak turun dan berjalan begitu saja melewati si sopir tanpa bermaksud mengembalikan uang dua puluh sen tersebut. Namun yang terjadi, ketika samapai di dekat sopir, sang imam dengan spontan mengulurkan dua puluh sen tersebut sembari berkata, “Uang kembalian yang Anda kembalikan lebih.” Tanpa disangka, bukan ucapan terima kasih yang keluar dari mulut sopir tersebut  melainkan acungan jempol seraya berkata “Anda berhasil!”, katanya antusias.

          Dengan wajah kebingungan sang imam bertanya, “Apa maksud Anda?”

          Bukankah Anda imam masjid yang disana tadi?” tanya si supir

          “betul” jawabnya, ia bertambah bingung.

          Lalu kemudian dengan tatapan penuh keyakinan sang sopir pun bercerita, “sebenarnya dalam waktu beberapa hari ini saya ingin datang ke masjid Anda untuk belajar dan memeluk Islam, tapi timbul di hati saya untuk menguji Anda sebagai imam masjid, Apa benar Islam itu seperti yang saya dengar, jujur, amanah, dan sebagainya. Saya sengaja memberikan kembalian berlebih kepada Anda hanya untuk mengetahui apakah Anda akan mengembalikannya atau tidak, dan Anda berhasil. Saya akan masuk Islam,” kata sopir tersebut degan penuh kesungguhan.

          Tercenganglah sang imam akan apa yang baru saja didengarnya. Sambil berigstigfar menyesali apa yang dipikirkanya tadi, sang imam benar-benar “syok”. Betapa ia hampir saja melakukan hal terbodoh, ‘menukar’ uang dua puluh sen dengan keimanan seseorang. Uang dua puluh sen yang baru saja ia terima dengan tangannya itu ternyata seharga kemantapan sang sopir memercayai kejujuran dalam Islam, dan karena hanya uang dua puluh sen yang hampir tertahan di kedua tangannya, hampir saja membunuh keyakinan orang lain. Seolah masih tak percaya, sambil berjalan meninggalkan bus, sang imam terus berpikir bagaimana mungkin ia menilai orang lain dengan suatu keburukan sedangkan ia sendiri sedang berencana melakukan keburukan untuk orang lain.

          Uang 20 sen… Uang itu kecil, sedikit, hanya koin sen-an berjumlah dua puluh, namun hampir saja membuatnya menyesal seumur hidup.

          Sang Imam terus beristigfar (memohon ampun) dan bersyukur karena Allah masih menjaganya dari perbuatan dosa…

          Terlalu seringnya kita menilai orang lain dan lupa menilai diri sendiri, kita sering sekali sibuk dengan dosa-dosa orang lain tapi lupa akan dosa-dosa kita sendiri. Hidup kita hampir selalu di isi dengan menilai-nilai orang lain tapi lupa menilai diri sendiri. Andai kata kita diperlihatkan segala keburukan kita, maka tidak ada satu pun rasa ingin menyombongkan diri karena merasa lebih dari orang lain, andai kata kita tahu bahwa semua adalah titipan : harta, jabatan, popularitas, kebaikan, ilmu dan kehidupan ini maka tidak ada satu pun yang bisa kita bangga-banggakan. Karena semua hanya titipan dan akan dikembali kepada Sang Pemilik-NYA.

          Kawan-kawan, betapa seharusnya kita senantiasa memelihara menjadi apa yang menjadi kebaikan dalam diri kita setiap saat. Menjaga murninya kejujuran dalam keadaan apa pun. Betapa kejujuran selalu menjadikan segala sesuatunya aman, tenteram, dan berjalan dengan baik menuju kesempurnaan. Betapa seharusnya kita selalu berusaha menjadi seorang hamba yang sejati, yang senantiasa memilih berbuat baik sekecil apa pun, di mana pun, kapan pun keadaan apa pun, dan kepada siapa pun. Dan itu merupakan Rahmat Bagi Setiap Manusia…
 
 
 
 
Sumber : Buku HOPE (Dream, Desire, Destiny)
Andi Arsyil Rahman Putra
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar